Aiko. Itulah nama yang diberikan ayah dan ibuku untuk kehadiranku sebagai anak tunggal di dunia ini. Ayahku adalah seorang arsitek berkebangsaan Jepang, dan ibuku yang masyarakat pribumi memilih untuk mengabdikan diri sebagai seorang dokter jiwa yang selalu sabar menghadapi pasien dengan masalah kejiwaan, tentunya dari akar masalah yang tidak sama. Ini adalah salah satu alasanku mengagumi ibu.
Tepat seperti jadwal minum obat. Tiga kali sehari setelah makan bersama ayah dan ibu, aku selalu diberi nasehat yang berbeda-beda. "Aiko, kau tahu bagaimana kami menyayangimu? Kami tak akan membiarkanmu menjadi anak laki-laki yang manja dan hanya berlindung di balik orang tuanya. Ada baiknya kau mencoba keluar sejenak dari zona nyamanmu ini. Nanti kau akan tahu bagaimana sebenarnya hidup itu," kata ibuku. Untuk hal ini, ayahku mendukung ibu seratus persen. Memang, kuakui selama ini aku belum pernah mengalami kesulitan yang berarti. Tapi, aku merasa belum siap jika harus lepas dari peran orang tua di dekatku. Dan ternyata semakin terlihat bahwa aku masih bergantung pada mereka.
***
"Di mana kartu ATM ku? Lho kenapa uang di dompetku menjadi sedikit begini?" tanyaku heran.
Pikiranku langsung tertuju untuk bertanya pada ayah dan ibu. Herannya, mereka hanya menjawabku dengan senyuman. Setelah membalikkan badan dengan perasaan agak kesal, kudengar ayah mengatakan sesuatu padaku. "Aiko, ayah dan ibu ingin melihatmu bisa berdiri di atas kakimu sendiri.." Belum selesai ayah berbicara, dengan kesal aku berkata,"Maksud ayah apa membuatku kesulitan dengan menyita ATM dan hanya meninggalkan sedikit uang di dompetku?"
Ayah pun menjawab dengan kata-kata yang membuatku terkejut. "Apakah kau pernah berpikir bagaimana kau bisa bertahan jika kau harus hidup sendiri, jika nanti ayah dan ibu tak lagi ada..?" Aku hanya diam dan tak lagi berpikir untuk memberi sangkalan.
Hari-hari kulalui dengan bekal uang yang pas-pasan yang hanya cukup untuk kebutuhan kuliahku. Berbeda dengan kondisiku dulu. Kini aku tak lagi bisa membeli pakaian dan film-film sesuka hatiku. Rasa tak tercukupi ini berhasil mendorongku untuk mencoba mencari pekerjaan. Tak jauh-jauh aku berpikir, kucoba untuk melamar sebagai web designer sembari kuliahku di Jurusan Ilmu Komputer. Hasilnya, aku ditolak. Aku pun mencoba belajar dari kegagalan ini dan memperbaiki hal-hal yang membuatku gagal. Aku terus belajar. Benar, di kesempatan kedua aku mendapatkan pekerjaan ini di tempat yang lain. Sebulan kulalui dengan pontang-panting kuliah sambil bekerja. Awalnya, aku merasa berat dan berpikir orang tuaku tak menyayangiku. Paksaan dan rasa terpaksa kini sedikit demi sedikit lenyap dari pikiranku yang kanak-kanak. Aku mulai belajar bagaimana sulitnya mendapatkan sesuatu, yang dengan itu aku akan lebih menghargai hasil kerja kerasku, meskipun makna "keras" itu relatif. Aku jadi ingat ke mana saja kubawa uang yang selama ini diberikan orang tuaku. Keterlaluan.
Tidak hanya itu, ternyata pengalaman ini membuatku sadar, ternyata aku lebih kuat dari yang kubayangkan sebelum menghadapi hal ini..kukira aku akan menyerah. Dan kini, aku tak lagi sepenuhnya bergantung pada orang tuaku.. Dengan perasaan lega, aku bergumam, "Jadi, ini maksud ayah dan ibu?"
Cerita singkat ini terinspirasi dari sebuah foto teh celup yang dipajang di sebuah sisi dinding Perpustakaan FKM UI, di bawah foto itu tertulis "People are like tea bags. You've to put them into hot water before you can know how strong they are."